Oct 23, 2016

And The Million Dollar Question is.....



Bulan Oktober sudah mau selesai. Berarti sebentar lagi bulan November, lalu Desember. 

Ah, lalu dua bulan lagi aku genap 25 tahun. Dan dua bulan lagi pula sepupuku (yang lebih muda dariku setahun) akan menikah. Aku sih sudah tahu apa pertanyaan yang pasti akan memburuku. “Nifa kapan nyusul?” atau “Masa kesusul Firdha?” atau “Pacarnya mana nih?”.

Sebetulnya aku tidak mempermasalahkan itu. Bagiku, jodoh di tangan Allah. Bukan mauku jika sampai saat ini aku belum bertemu atau dipertemukan dengan dia. Mungkin memang belum ada momentum yang tepat, atau aku masih kurang memantaskan diri. Tapi, semakin hari, mama dan adikku mulai sering bertanya. Kapan Mbak Nifa mau mulai mencari?

Menjadi seseorang yang sulit bergaul, bukan pilihanku. Dan terkadang aku jadi menyalahkan diri sendiri ketika aku jadi tidak bisa dekat dengan laki-laki karena hal ini. Sekalinya dekat, mentoknya hanya sampai di ‘zona teman’ saja. Sakit? Tentu saja. Tapi mau bagaimana lagi. Aku bukan orang yang bisa bilang ‘suka’ begitu saja kan.

Aku memiliki kecenderungan membuat diriku tidak dipandang seperti wanita ketika sedang bersama teman-teman lelakiku. Mengerti kan? Jadi sepertinya mereka menganggapku sama seperti mereka, laki-laki juga. Padahal biar bagaimanapun aku ini perempuan. Mungkin itu juga yang membuat mereka tidak pernah membiarkan aku melewati ‘zona teman’ itu. 

Nah, aku sekarang punya seorang sahabat, ya sebutlah sahabat ya karena kami dekat lebih dari teman tapi tidak lebih dari itu juga. Karena aku jarang bisa dekat dengan teman laki-laki, mama jadi sering menjodoh-jodohkan. Salahku juga sih karena aku sering cerita dia begini, dia begitu. But then, the statement came. 

“Kamu sama dia aja, Mbak. Mama setuju deh. Anaknya baik,” ucap Mama suatu hari.

Aku jujur saja kaget. Sahabatku itu memang sering main setiap kali dia sedang ada waktu. Tapi, dia sepertinya tidak pernah melihatku seperti ‘perempuan’ (sedihnya). Dan diawali dengan ucapan mama (yang aku tidak hiraukan) aku jadi mulai berpikir. Iya sih, memang dia baik. Perawakannya pun tidak buruk. Agamanya pun sepertinya bagus. Lalu, hatiku mulai condong. Dan setiap kali mama mengatakan itu, aku hanya bisa bilang “Apaan sih, Maaaa...” tapi diam-diam hatiku mengamini. Jika Allah memang menakdirkan aku dengannya, aamiin, batinku.

Tapi, aku ragu. Apakah aku memang suka atau hanya karena mama sering meledekku dan aku agak... desperate? Entahlah. Akhirnya, perlahan aku berusaha untuk menghilangkan perasaan ini. Ditambah lagi, kemudian aku tahu dia sudah punya pacar. 

Lalu, bagaimana? Entahlah. Sekarang aku hanya berusaha untuk memantaskan diri. Berdoa juga. Apalagi sekarang, seperti yang sudah kujelaskan di atas, mama dan adikku mulai banyak tanya tentang hal ini. Sudah tidak lagi ‘santai’ kalau dulu aku bilang. Posisiku kini sama dengan teman-teman yang juga mulai didesak. Tapi aku bisa apa. Aku memang belum ada rencana (setidaknya untuk tahun ini dan tahun depan). Dan aku juga tidak punya target. Oh, aku dulu punya target. Tapi targetku sudah lewat. Jadi aku hanya bisa berdoa dan berharap suatu saat akan dipertemukan.

Aku tahu yang namanya jodoh (katanya) jangan ditunggu. Tapi dicari. Ya, aku juga sambil mencari. Semoga saja Allah mendengar doaku. Paling tidak, doa mama. Doa adikku. 

Dua bulan lagi aku 25 tahun. Entah apakah aku siap menghadapi ‘Sindrom 25’ atau itu hanya mitos saja. Tapi semoga di 25 tahun ini aku bisa menjadi pribadi yang lebih dewasa dan siap menghadapi apapun. Pun jika Allah memberiku jodoh di usia ini, semoga ia adalah orang yang sayang kepada keluargaku dan dapat membimbingku ke jalan yang lebih baik. Aamiin.

Love,
Nifa.

Oct 6, 2016

"Story Blog Tour" Challenge with OWOP (One Week One Paper) II

Hullo~

Setelah sekian lama nggak post apa-apa (terakhir emang sekedar curahan hati kangen sama Eyang dan Umi) akhirnya gue akan post sesuatu lagi.

Jadi kali ini, gue dan teman-teman dari OWOP II kembali mengadakan proyek SBT Challenge ini. Sebelumnya sih udah pernah beberapa kali diadain. Dan gue beberapa kali juga ikut. Nah makanya sekarang, pas diadain lagi, gue ikutan. Kali ini gue kebagian giliran pertama.

SBT Challenge kali ini genre ceritanya adalah Romance-Angst (hasil voting seisi grup ya ini, bukan cuma mau gue). So, here is the first chapter of the story. Enjoy.

~.~

Chapter 1 - Luka Elisa



Elisa menatap cermin di hadapannya dengan tatapan kosong. Di luar kamarnya, terdengar suara bantingan piring dan gelas atau entah apa saja yang dilempar oleh orangtuanya. Sekeras apapun ia berusaha untuk meredam suara-suara itu, tetap saja terdengar. Ingin rasanya ia pergi, kabur dari rumah dan menginap di tempat lain. Tapi di mana?

Bayangannya dari balik cermin membalas tatapannya. Benci, ia benci tatapan kosong itu. Lalu dengan sekuat tenaga ia memukul cermin kamar mandinya hingga pecah berkeping. Ia tak sadar bahwa ia punya kekuatan sebesar itu. Tapi ia tidak khawatir orangtuanya akan mendengar. Suara di luar jauh lebih bising daripada suara cermin pecah di dalam kamar mandi en suite di kamarnya. 

Tanpa ia sadar, tangannya meraih salah satu pecahan dan ibu jarinya menyentuh ujungnya yang tajam. Pecahan itu pun menggores ibu jarinya hingga darah perlahan keluar. Ia hanya menatap darah yang mengalir tanpa ekspresi, seakan ia sudah terbiasa melihatnya. Perlahan, ia membawa pecahan kaca itu ke pergelangan tangan kirinya. Dengan pelan ia menggores dan menekan pecahan kaca itu. Goresan itu cukup dalam, tapi masih dirasa aman olehnya.

Tidak. Elisa tidak pernah berniat untuk bunuh diri. Ia hanya ingin memindahkan rasa sakit hatinya ke dalam bentuk sakit yang lebih nyata. Hal ini bukan baru sekali ia lakukan. Di beberapa bagian pergelangan tangan dan lengan dalam tangannya, terdapat bekas-bekas sayatan yang sudah memudar, meninggalkan jejak putih panjang. Ia sengaja menyimpan sebuah silet di bagian terdalam lemari kabinet di kamar mandinya. Menggunakan pecahan kaca ini, adalah pertama kali. Sebenarnya, Elisa sudah pernah berjanji, pada dirinya sendiri, bahwa ia takkan pernah melakukannya lagi. Tapi sepertinya, setan di kepalanya tidak bisa diam dan membiarkannya menepati janjinya. 

Baru saja ia akan kembali menyayat dan menggoreskan luka ke-6, deringan ponselnya membuat ia terlonjak dan menjatuhkan pecahan kaca di tangannya. Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas tempat tidurnya dan mengangkatnya setelah melihat Caller ID penelpon.

“Tezar,” ucapnya lirih. 

“El, lo.., lo kenapa?” tanya Tezar. Suaranya yang tadinya ceria berubah menjadi siaga dalam hitungan detik. 

Mendengar pertanyaan Tezar, Elisa jatuh terduduk di samping tempat tidurnya dan menangis. Seakan ia baru saja sadar apa yang sudah ia lakukan. Bahwa ia baru saja melanggar janjinya untuk entah ke berapa kalinya. 

“El,” panggil Tezar dari seberang sana. “Gue ke sana sekarang.”

“Jangan!” cegah Elisa. “Papa-Mama lagi perang.”

“Justru karena itu, gue ke sana sekarang El. Buka jendela. Tunggu gue. Jangan... melakukan hal bodoh!”

Sambungan telepon pun terputus. 

*

Guys, gue balik duluan ya.”

Tezar bangkit dari kursinya dan mengenakan parka marunnya, mengantongi ponsel dan mengambil kunci motornya. 

“Lah, kenapa Zar? Ada masalah? Ada apaan? Tiba-tiba banget.” Gio, yang duduk di sebelahnya bingung. “Tadi bukannya lo mau ngajak Elisa?”

“Nah, justru itu. Gue harus ke sana nih,” jawabnya ringkas. “Dia... butuh gue sekarang.”

Sontak kalimat terakhirnya membuat teman-temannya ribut menyoraki dan bersorak. Pasalnya, semua sahabatnya sudah sejak lama curiga pada hubungannya dan Elisa. Namun, ia selalu menjawab bahwa mereka berdua hanya sahabat. 

“Gaya lo, Zar. Gue pikir ada apaan,” seru Kemal. “Gih sana deh lo samperin cewek lo. Makanya, go public aja, go public. Kayak artis aja lo berdua sok sembunyi-sembunyi!”

Tezar hanya tersenyum simpul dan pergi dengan bergegas. Pikirannya kembali kepada suara Elisa tadi. Tangis itu tidak biasa. Mama-papanya bertengkar lagi, berarti....

Semoga ia tidak apa-apa, batin Tezar. Semoga Elisa tidak melakukan hal itu lagi. 

Tezar mengenal Elisa sejak SMP. Mereka dulu dipasangkan untuk duduk sebangku karena nama mereka berurutan di absen. Iya, Tezar adalah nama tengahnya. Nama depannya adalah Elgan. Sejak saat itu, mereka seperti perangko dan amplop. Pribadi Tezar yang menyenangkan terlihat kontras dengan pribadi Elisa yang tertutup. Hanya Tezar yang nampaknya bisa mendobrak pertahanan diri Elisa. Banyak temannya yang bilang bahwa Elisa terlalu bergantung padanya, ia jadi tidak punya celah untuk bisa bebas. Tapi bagi Tezar itu bukanlah masalah. Ia senang Elisa bisa membuka diri padanya.

Tapi, menjadi bagian hidup Elisa, berarti juga menyingkap lukanya. Elisa memiliki pribadi yang tertutup bukan karena ia memilihnya. Keluarganya tidak harmonis. Sejak dulu. Dan Elisa adalah anak tunggal, sehingga semua beban ia tanggung sendiri. Tapi kehadiran Tezar, membuatnya bisa berbagi. Dan Tezar bersyukur, ia bisa menjadi seseorang yang berarti di hidup Elisa.

Tezar menatap jam tangannya dengan gelisah. Jalanan macet bukanlah hal yang aneh di Jakarta, tapi kali ini ia benar-benar kesal. 

“Ah! Lampu merahnya lama banget sih!” gerutunya. 

Ketika lampu lalu lintas berubah hijau, ia segera memacu motornya kencang. Perjalanannya dari tempat nongkrongnya tadi menuju rumah Elisa terasa lebih jauh dari biasanya. Ia hanya berharap bisa segera sampai dan semua baik-baik saja. Elisa, please stay safe.


~.~ 


Cerita selanjutnya nanti akan diteruskan oleh kak Asti: Chapter 2 - Self Harm

Bagi yang ada saran boleh lho komen.

Terima kasih :)

-N